
Quo Vadis Pendidikan Kesetaraan tentang Menjemput Masa Depan yang Lebih Baik
Salam Bahagia dan Salam Sejahtera Sobat Mina
Tabik Pun!
Di tengah realitas sosial yang penuh ketimpangan, pendidikan kesetaraan hadir bukan hanya sebagai solusi alternatif, tetapi sebagai bentuk keberpihakan nyata terhadap hak asasi manusia untuk belajar. Pertanyaan “Quo Vadis Pendidikan Kesetaraan?” menjadi refleksi bersama: ke mana arah pendidikan ini akan dibawa, dan sejauh mana ia mampu menjawab tantangan zaman?

Sekolah nonformal seperti PKBM Ronaa hadir menjawab tantangan-tantangan kontekstual—biaya pendidikan yang tinggi, kesenjangan ekonomi, hingga kebutuhan akan pendekatan pendidikan yang lebih humanis dan berkeadilan. PKBM Ronaa bukan sekadar tempat belajar, melainkan ruang harapan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan dari sistem formal. Melalui Ujian Pendidikan Kesetaraan, warga belajar tidak hanya mendapatkan legitimasi kompetensi, tetapi juga akses menuju masa depan yang lebih baik dan lebih setara.
Prinsip kesetaraan dalam pendidikan, yang menekankan pada kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan berkualitas, sejatinya telah menjadi pokok pemikiran banyak tokoh filsafat pendidikan. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menekankan pentingnya pendidikan yang berpusat pada anak dan bebas dari diskriminasi. Filosofinya yang terkenal, “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani,” menjadi panduan etis dalam mewujudkan pendidikan yang membimbing dan memerdekakan.
Sementara itu, Jean-Jacques Rousseau meyakini bahwa manusia secara alami baik, dan pendidikan seharusnya mengembangkan potensi alami tersebut tanpa mengekangnya dalam kurikulum yang kaku. Perspektif ini relevan dengan pendekatan kontekstual yang diadopsi PKBM Ronaa, yang berupaya memahami kebutuhan unik setiap individu.
John Locke pun menekankan bahwa manusia adalah hasil dari pengalaman dan pendidikan. Oleh karena itu, memberikan akses pendidikan yang setara adalah investasi dalam membentuk individu yang berpengetahuan dan bertanggung jawab.
Dari sudut pandang rekonstruksionisme, pendidikan tidak hanya berperan membentuk individu, tetapi juga membangun tatanan masyarakat yang adil dan setara. Pendidikan kesetaraan, dalam semangat ini, adalah alat untuk transformasi sosial.
PKBM Ronaa membawa misi ini dengan nyata—menghubungkan pembelajaran dengan realitas sosial dan menumbuhkan karakter, kesadaran, serta kepedulian sosial dalam diri peserta didik. Dengan demikian, pendidikan kesetaraan bukan jalan alternatif yang inferior, melainkan jalan yang sejajar—yang harus didukung, dikembangkan, dan diprioritaskan. Masa depan yang lebih baik bukan hanya tentang pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi tentang manusia yang merdeka, berdaya, dan bermartabat. Di sanalah letak esensi pendidikan: membebaskan, memanusiakan, dan menyetarakan.[ABD]
Artikel lainnya :
- AI Bikin Culas? Mendikdasmen Ngomong Gini, Gen Z Harus Gimana?Menyikapi Pandangan Mendikdasmen tentang AI: Antara Kecerdasan dan Kejujuran
- Flashback Urgensi Kelulusan Warga Belajar Pendidikan Nonformal di Era AI“Gaptek? Nggak zaman! Pendidikan nonformal kunci hadapi AI. Kata pakar: ‘Skill masa depan wajib dikuasai!’
- Quo Vadis Pendidikan Kesetaraan tentang Menjemput Masa Depan yang Lebih BaikMenjemput Masa Depan – Pendidikan Kesetaraan di Simpang Jalan
- Era Baru Timnas Indonesia: Pergeseran Pelatih dan Dinamika simpatisan IndonesiaPrestasi Shin Tae-yong menuju visi besar lolos piala dunia bukan hal yang Omong kosong semua itu menuju visinya
- Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) dan Potret Pembangunan Kebudayaan di IndonesiaTantangan utama dalam pemajuan kebudayaan di Indonesia adalah kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah