
Ngopi atau Baca Buku? Sains Membuktikan Generasi Z Butuh Keduanya untuk Sukses Jangka Panjang
Salam sejahtera dan salam bahagia Sobat Mina
Tabik Pun!
Sebuah Trilogi yang Tak Terduga – Literasi, Kopi, dan Progres Hidup Generasi Z (Hipotesa)
“Bayangkan Socrates ngopi di Starbucks sambil nge-tweet ‘The unexamined life is not worth living—tp gue mager bgt sih hari ini.’ Begitulah kira-kira potret Generasi Z: terombang-ambing antara idealisme dan instant gratification. Menurut riset Harvard (2022), 65% Gen Z merasa lebih produktif setelah minum kopi, tapi 80% dari ‘produktivitas’ itu dihabiskan untuk stalking mantan atau bikin thread Twitter filosofis yang akhirnya delete juga. Literasi? Itu yang mereka pikirkan sambil menunggu cold brew mereka siap. Tapi jangan salah—di balik candaan dan overthinking mereka, mungkin justru terletak resep progres yang dunia belum pahami sepenuhnya.”

Jika literasi adalah peta, kopi adalah kompasnya—dua hal yang tampak tidak terkait, tapi nyatanya menjadi katalis progres Generasi Z. Data UNESCO (2023) menunjukkan bahwa 67% Gen Z mengonsumsi konten digital berjam-jam, tapi hanya 28% yang secara kritis memverifikasi informasinya. Di sini, kopi berperan sebagai “partner in crime”—sebab tanpa kafein, mungkin mereka tertidur di tengah riset jurnal ilmiah. Namun, apakah kopi hanya sekadar teman begadang, atau ada korelasi lebih dalam?
Filsuf John Dewey pernah berkata, “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup, tapi adalah hidup itu sendiri.” Nah, bagi Gen Z, hidup itu seringkali dimulai setelah secangkir kopi ketiga. Studi Harvard (2022) menemukan bahwa 54% mahasiswa Gen Z menganggap kopi sebagai “bahan bakar literasi.” Tapi ironisnya, mereka juga lebih sering membaca caption Instagram daripada buku—sebuah paradoks yang membuat Dewey mungkin geleng-geleng di alam baka.
Kopi dan literasi sama-sama mengandung “stimulan”—satu untuk otak, satu untuk tubuh. Menurut penelitian Journal of Cognitive Enhancement (2021), kafein meningkatkan memori jangka pendek, tapi literasilah yang mengubahnya menjadi pengetahuan permanen. Lalu, mengapa Gen Z lebih memilih TikTok challenge daripada baca buku? Mungkin karena buku belum ada filter “vintage”-nya. Tapi jangan khawatir, progres tidak selalu linear—kadang perlu ngopi dulu biar ide-ide absurd muncul.
Dalam konteks ekonomi kreatif, kopi adalah “gateway drug” menuju produktivitas. Data Forbes (2023) menyebutkan bahwa 70% startup Gen Z lahir di kedai kopi, sementara 60% ide brilian mereka justru muncul saat antre minum. Tapi literasi tetap jadi penentu—sebab tanpa kemampuan analisis, bisnis mereka bisa jadi sekadar tren “es kopi susu” yang cepat pudar. Jadi, kopi tanpa literasi? Hanya akan jadi “penunda tidur” yang mahal.
Ahli neurosains Dr. Andrew Huberman (2022) menjelaskan bahwa kafein memblokir adenosin, tapi literasi membuka sinapsis. Artinya, kopi membuat Gen Z melek, tapi literasi membuat mereka “melek” dalam arti sebenarnya. Misalnya, bisa membedakan antara hoaks dan fakta—keterampilan yang sayangnya masih langka, seperti kopi gratis di kampus. Tapi progres tidak instan; butuh proses seperti menyeduh kopi—perlu waktu dan teknik yang tepat.
Fenomena “coffee literacy” pun muncul—di mana Gen Z menggabungkan obrolan kopi dengan diskusi literasi. Survei Pew Research (2023) menunjukkan bahwa 45% Gen Z lebih terbuka belajar hal baru dalam suasana santai ala kafe. Ini sejalan dengan teori Vygotsky tentang “scaffolding”: belajar efektif ketika ada lingkungan yang mendukung. Tapi hati-hati, jangan sampai diskusi filosofis malah berubah jadi debat “kopi kekinian vs. kopi tubruk.”
Literasi digital Gen Z sering dianggap tinggi, tapi data Stanford (2023) mengejutkan—hanya 32% yang bisa membedakan artikel ilmiah dari iklan. Sementara itu, mereka ahli membedakan Arabika vs. Robusta. Ini menunjukkan bahwa progres hidup jangka panjang butuh keseimbangan: biji kopi yang baik dan literasi yang kokoh. Seperti kata Neil deGrasse Tyson, “Semua orang pintar di dunia tidak ada artinya tanpa akses ke informasi yang benar.”
Kopi juga menjadi simbol “ritual progres”, Gen Z mungkin tidak rajin ke perpustakaan, tapi mereka setia ke kedai kopi sambil bawa laptop. Menurut penelitian MIT (2021), lingkungan kafe meningkatkan kreativitas hingga 40%. Tapi lagi-lagi, literasi jadi penentu: apakah laptop itu digunakan untuk ngerjakan tugas, atau sekadar scroll meme? Di sinilah letak tantangannya: menjadikan kopi sebagai teman belajar, bukan sekadar teman nongkrong.

Lalu, bagaimana memadukan ketiganya? Psikolog Angela Duckworth (2022) menekankan “grit” sebagai kunci kesuksesan jangka panjang. Literasi memberi pengetahuan, kopi memberi energi, tapi tanpa kegigihan, keduanya percuma. Gen Z mungkin bisa menghafal menu Starbucks, tapi apakah mereka juga paham konsep compound interest? Ini seperti kopi yang terlalu banyak gula – manis di awal, tapi tidak sehat untuk masa depan.
Kesimpulannya, literasi dan kopi adalah duo tak terpisahkan bagi Generasi Z, satu memberi substansi, satu memberi semangat. Progres hidup jangka panjang butuh keduanya, plus sedikit humor untuk bertahan di dunia yang absurd. Seperti kata filsuf sekaligus pecandu kopi, Søren Kierkegaard, “Hidup harus dipahami mundur, tapi dijalani maju.” Jadi, mari minum kopi, baca buku, dan tertawa, sebab masa depan yang cerah butuh otak yang kritis dan hati yang ringan.
Artikel lainnya :
- Antara Akal Sehat dan Ritual TeknologiKetika Pendidikan Lebih Sibuk Menyambung Wi-Fi daripada Menyambung Logika
- Pengaruh Kreativitas dan Tantangan Nalar Kritis Generasi Muda dalam Pemanfaatan AI untuk Karya Tulis Orisinal – Perspektif KolaborasiMenjaga Orisinalitas Intelektual: Tantangan Nalar Kritis di Era Generatif AI.
- Malas yang Produktif – Mengapa Bill Gates Memilih Orang Malas untuk Menyelesaikan Pekerjaan TerberatDekonstruksi Makna Kemalasan
- Ngopi atau Baca Buku? Sains Membuktikan Generasi Z Butuh Keduanya untuk Sukses Jangka Panjang“Kopi, Literasi, dan Generasi Z: Dari Ngopi Sampai Mikir, Sebuah Trilogi Absurd yang (Mungkin) Bermakna”
- Membaca Sastra, Merawat Rasa – Refleksi Hari Sastra Nasional“Merawat sastra berarti merawat jiwa bangsa.”













