
Antara Akal Sehat dan Ritual Teknologi
Salam sejahtera dan salam bahagia Sobat Mina
Tabik Pun!
Kita ini, ya… bangsa yang sedang mabuk teknologi. Begitu dengar kata digitalisasi pembelajaran, semua langsung tepuk tangan. Seolah-olah dengan menginstal aplikasi, kita sudah menyalakan akal budi. Padahal, tidak semua yang online itu tercerahkan. Kadang justru makin tersesat di labirin notifikasi.

Banyak yang bangga karena kelasnya sudah digital. Padahal cuma mindahin buku jadi PDF. Hasilnya? Kebosanan yang tadinya di papan tulis, sekarang pindah ke layar. Jadi, digitalisasinya berhasil, tapi logikanya gagal. Kita ini sering kali lebih cepat belajar menekan tombol daripada menyalakan nalar.
Ada beberapa influencer yang bilang bahwa teknologi itu netral. Yang tidak netral adalah cara kita berpikir. Kalau gurunya masih berpikir dogmatis, ya digitalisasi hanya menambah warna latar belakang presentasi. Kalau peserta didiknya hanya disuruh klik tanpa berpikir, ya yang dilatih cuma jempol, bukan otak.
Masalah terbesar pendidikan kita bukan karena miskin alat, tapi karena miskin refleksi. Kita tidak sedang kekurangan aplikasi belajar — kita kekurangan kebiasaan berpikir kritis. Lihat saja, banyak yang punya smartphone, tapi tidak semua punya smart thought.
Dan saat ini muncul istilah pembelajaran adaptif berbasis AI. Kedengarannya canggih. Tapi kalau yang mengoperasikan masih berpikir manual, hasilnya cuma artificial intelligence yang dijalankan oleh natural stupidity.
Digitalisasi seharusnya bukan soal alat, tapi soal arah. Ia bisa membawa kita menuju pencerahan atau justru ke dalam kegelapan baru yang bernama otomatisasi tanpa kesadaran. Jadi, pertanyaannya bukan, “Sudahkah kita digital?” Tapi, “Sudahkah kita berpikir sebelum mendigital?”
Mina gak menolak digitalisasi, tentu saja tidak. hanya ingin mengingatkan bahwa, teknologi itu netral, tapi cara kita menggunakannya menentukan arah peradaban. Digitalisasi seharusnya memperluas kebebasan berpikir, bukan mempersempitnya menjadi sekadar formalitas kebijakan.
Kalau pendidikan hanya diukur dari kecepatan unduh dan unggah, maka kita bukan sedang mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sedang men-sinkronkan file akal budi ke dalam sistem yang bahkan tak paham makna manusia.
Artikel lainnya :
- Antara Akal Sehat dan Ritual TeknologiKetika Pendidikan Lebih Sibuk Menyambung Wi-Fi daripada Menyambung Logika
- Pengaruh Kreativitas dan Tantangan Nalar Kritis Generasi Muda dalam Pemanfaatan AI untuk Karya Tulis Orisinal – Perspektif KolaborasiMenjaga Orisinalitas Intelektual: Tantangan Nalar Kritis di Era Generatif AI.
- Malas yang Produktif – Mengapa Bill Gates Memilih Orang Malas untuk Menyelesaikan Pekerjaan TerberatDekonstruksi Makna Kemalasan
- Ngopi atau Baca Buku? Sains Membuktikan Generasi Z Butuh Keduanya untuk Sukses Jangka Panjang“Kopi, Literasi, dan Generasi Z: Dari Ngopi Sampai Mikir, Sebuah Trilogi Absurd yang (Mungkin) Bermakna”
- Optimalisasi Masa Reses Akademik 2024/2025 – Integrasi Istirahat, Eksplorasi, dan ProduktivitasPemanfaatan Liburan Akhir Tahun Pelajaran sebagai Ruang Rekreasi Edukatif dan Pengembangan Diri













