
Urgensi Uji Kesetaraan 2025: Perubahan Ujian Nasional, Regulasi Terbaru, dan Pendapat Pakar
Salam sejahtera dan salam bahagia Sobat Mina
Tabik Pun!
Dunia pendidikan Indonesia terus berkembang, termasuk dalam sistem evaluasi bagi peserta didik formal dan nonformal. Tahun 2025, Ujian Nasional (UN) sudah nggak ada lagi di sekolah formal. Sebagai gantinya (baru wacana), ada Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang fokus mengukur kompetensi tanpa jadi syarat kelulusan. Di pendidikan nonformal, Uji Kesetaraan tetap ada, tapi sampai saat ini juga belum tau, apa istilah yang akan digunakan. Apakah Ujian Pendidikan Kesetaraan (UPK) atau Uji Kesetaraan (UK), tapi juga bukan penentu utama lulus atau nggaknya. Ini menandakan kalau pendidikan kita mulai lebih fleksibel, nggak cuma ngandelin ujian sebagai patokan utama.

Banyak yang bertanya, kalau UN udah nggak ada dan Uji Kesetaraan nggak menentukan kelulusan, trus buat apa masih ada? Jawabannya simpel: buat ngukur standar kompetensi. TKA dan Uji Kesetaraan itu semacam alat evaluasi buat ngecek sejauh mana pemahaman peserta didik terhadap materi yang dia pelajari. Jadi, bukan sekadar ritual tahunan yang bikin deg-degan, tapi lebih ke refleksi sejauh mana pendidikan itu berjalan efektif.
Pakar pendidikan punya pendapat yang beragam soal ini. Ada yang mendukung karena sistem lama dianggap terlalu menekan peserta didik, ada juga yang merasa ujian itu penting biar ada ukuran standar nasional. Menurut Prof. Suyanto, pakar pendidikan dari UGM, penghapusan UN dan perubahan sistem ujian ini bisa bikin pendidikan lebih inklusif. Sementara itu, Dr. Indra Charismiadji menekankan pentingnya asesmen berbasis kompetensi yang lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masa depan peserta didik.
Regulasi terbaru juga mendukung perubahan ini. Permendikbudristek No. 58 Tahun 2024 sudah menegaskan bahwa ijazah bisa diterbitkan secara mandiri oleh satuan pendidikan, tanpa harus menunggu hasil ujian nasional atau uji kesetaraan. Artinya, pendidikan kita makin percaya diri dengan sistem internalnya sendiri. Tapi tetap, asesmen kayak TKA dan Uji Kesetaraan masih diperlukan buat menjaga standar nasional.
Di pendidikan nonformal, seperti di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Uji Kesetaraan tetap relevan. Kenapa? Karena sistem ini jadi bukti kalau warga belajar Kejar paket A, B, dan C punya kompetensi setara dengan pendidikan formal. Ini juga penting buat mereka yang mau lanjut kuliah atau masuk dunia kerja. Jadi meskipun bukan penentu kelulusan, tetap aja ujiannya nggak bisa dianggap sepele.
Selain itu, Uji Kesetaraan juga berfungsi sebagai bahan refleksi buat lembaga pendidikan nonformal dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Kalau banyak warga belajar yang hasilnya kurang memuaskan, berarti ada sesuatu yang perlu dievaluasi. Bukan cuma dari sisi warga belajar, tapi juga metode pembelajaran, kualitas tutor, dan dukungan fasilitas belajar yang disediakan.
Di sisi lain, perubahan sistem ini juga bikin peserta didik nggak lagi merasa terbebani dengan ujian yang selama ini jadi momok. Sekarang, pendidikan lebih menekankan pada proses belajar yang aktif dan eksploratif. Jadi, peserta didik nggak cuma fokus buat ngejar nilai ujian, tapi lebih ke memahami konsep dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sejalan dengan prinsip Merdeka Belajar yang lagi digalakkan Kemendikbudristek.
Walaupun ada perubahan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya, bagaimana cara memastikan bahwa tanpa UN atau Uji Kesetaraan sebagai syarat kelulusan, kualitas pendidikan tetap terjaga. Jangan sampai malah ada kesenjangan antara sekolah yang benar-benar menerapkan pembelajaran berkualitas dan yang hanya sekadar memenuhi administrasi.
Solusinya, tentu perlu ada sistem asesmen yang lebih komprehensif. Misalnya, menilai peserta didik nggak cuma dari ujian tertulis, tapi juga dari proyek, presentasi, dan portofolio mereka. Dengan begitu, pendidikan nggak cuma soal menghafal materi, tapi benar-benar membekali peserta didik dengan keterampilan nyata yang bisa mereka gunakan di dunia kerja atau kehidupan sosial. ini sesuai paparan yang sering kali di sampaikan oleh Bapak Fauzi Eko Pranyono Koord Fungsi Kesetaraan Dit PMPK Kemendikbudristek RI
Jadi, di tahun 2025 nanti, meskipun UN sudah nggak ada dan Uji Kesetaraan bukan syarat lulus, bukan berarti evaluasi pendidikan berhenti. Justru ini kesempatan buat membangun sistem yang lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan zaman. Sekarang tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat mendukung perubahan ini, supaya pendidikan Indonesia bisa terus maju dan nggak ketinggalan zaman. [Mina]
Artikel lainnya :
- Selamat melaksanakan UPK-BK Kejar Paket C SMA Tahun 2025Semangat Ujian, Raih Impian! Tetap Tertib, Tetap Hebat!
- Tips Bagi Warga Belajar Peserta UPK-BK Kejar Paket C SMA Jenjang Kelas 12 Tingkat 6 Tahun 2025UPK-BK bukan akhir perjalanan, tapi awal langkah menuju masa depan. Belajar santai tapi konsisten, tertib, sehat, dan percaya diri
- Urgensi Uji Kesetaraan 2025: Perubahan Ujian Nasional, Regulasi Terbaru, dan Pendapat PakarDi tahun 2025, Ujian Nasional memang sudah tiada, tapi evaluasi pendidikan tetap ada. Uji Kesetaraan bukan lagi penentu kelulusan, melainkan alat ukur kualitas belajar. Kini saatnya pendidikan fokus pada kompetensi, bukan sekadar nilai.
- SANTRI 1446 H: Ramadan Penuh Berkah, Ilmu Makin Cetar di PKBM Ronaa Metro!Ramadan di PKBM Ronaa Metro bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga kesempatan buat meningkatkan ilmu dan memperkuat ukhuwah
- Uji Kesetaraan 2025 Ditunda: Sabar Dulu, Ada Kebijakan Baru!Kemdikdasmen sendiri bilang kalau mereka ingin memastikan sistem ujian ini lebih relevan dan berkualitas.