
Kau Telah Sampai Pada “Maqom” itu, Mang!

Zaqi Al Jabal – Selamat Mang Utjok. Memang tidak mudah untuk mencapai “maqam” itu. Sejauh ini, kau telah berhasil mempersembahkan “Sebait Syair Untuk Tuhan”. Sebuah Buku puisi yang menjadi fragmen dan bukti rekam jejak perjalanan “Kepenyairan” sastrawan Kota Metro-Lampung, setelah sekian puluh tahun mengalami “kemandegan” proses kreatif meracik kata. Sungguh, sebuah karya yang berhasil memantik kesadaran kita bersama bahwa menulis sastra [puisi] itu, bukan persoalan remeh-gampang dan instan. Akan tetapi, sebuah “habit” panjang yang mesti dilakoni secara istiqomah, penuh kesadaran (mungkin sedikit agak-agak “nyufi”), dan total mengendarai niat-tekad yang kuat.
Empat puluh judul sajak dalam buku puisi “Sebait Syair Untuk Tuhan” ini, benar-benar digarap di ruang yang kedap dari ingarbingar prestige dan gemuruh gelombang followers medsos yang inhuman. Tidak mudah mentas dari kedalaman kubangan proses—apalagi sampai menyempatkan diri berfikir untuk bersegera duduk manja sambil menikmati angin sepoi-sepoi di lembah popularitas. Di sisa-sela rutinitas mulia menjadi sahabat sekaligus mentor temen-temen disabilitas SLB Wiyata Dharma Metro, Utjok—sapaan akrab Solihin—berhasil menyibak, menyisir dan menemukenali diksi-diksi apik dari rimbunnya belantara ide. Satu persatu kata-kata itu dipungut, diracik, ditanak menjadi baris-baris kalimat dan siap disajikan menjadi bait-bait sajak yang [mudah-mudahan] tidak “cacat logika”.

Di awal perjalanan, sekira pada 2003 silam, saya turut manjadi saksi betapa gigih Utjok meretas “gelapnya” dunia sastra di Kampus STAIN Jurai Siwo Metro. Hanya bermodalkan kaweruh menulis puisi yang pas-pasan, akhirnya nekad menggelar “halaqah sastra”. Tepatnya, di bawah rindang pohon angsana yang masih banyak tumbuh di sekeliling gedung perkuliahan—kami menggembalakan uneg-uneg dan kebingungan-kebingungan perihal sastra; khususon ihwal puisi. Kebigungan-kebingungan itu menjadi teman setia kami di atas rumputan tebal halaman kelas. Sedikitpun tak ada respon dan kami hanya berbalas tawa. Karenan belum ada guru yang menuntun, akhirnya menggunakan pola “serampangan”; asal nulis dan sekananya saja. Kami tak berfikir hasil, apalagi berkaidah atau shahih—yang penting “nulis yang katanya puisi”.
Sekalipun tak ada senior sebagai tempat “bergantung”, kita tetap menyusuri pekatnya lorong kebingungan sambil meraba dan menerka-nerka arah kompas yang dituju. Akhirnya mentok juga, tapi Utjok tetap istikomah menyisir peta perjalanan yang sudah terlanjur diarsir bersama teman-teman kampus. Kesibukannya sebagai vokalis band dan atlet bridge, tak sedikitpun menyurutkan api yang sudah membara menyulut konsistensi Utjok.
Sekali dalam seminggu, di bawah intimidasi tekad dan berlarat-larat kebingungan yang terus menghimpit, halaqah sastra tetap digelar. Dapat dibayangkan, betapa konyol dan ruwetnya saat itu. Namun, hanya bermodalkan bondo nekad, jamaah halaqah sastra tetap melakukan kajian, menulis berbaris dan berbait kalimat—yang entah seperti apa penampakannya saat itu.
Jamaah tetap gembira, tidak pernah kecewa dan tetap menulis kalimat-kalimat yang memang mungkin pantas disebut “semisal” atau “sepertinya” puisi saja. Entah seperti apa wujud kalimat-kalimat yang semisal sajak itu kami buat, tapi produktivitas sajak-sajak yang tergelincir itu terus diupayakan. “Kami hanya bisa menjaga spirit yang sudah terlanjur menyala”, kenang Utjok sambil membaham singkong goreng. Lalu menyeruput kopi dan menggenapinya dengan menyesap rokok di ruang podjok.
Kabut gelap mulai tersingkap. Sekiranya masih di tahun 2003, Utjok dkk dipertemukan dengan sosok yang menggelandang kami jauh memasuki sabana kata yang lebih luas. Ialah Rifian Hadi—biasa kami panggil Bang Cheppy—menjadi guru yang rajin menanyakan karya; mentor yang gigih membukakan ruang berkarya; dan sekaligus motivator yang selalu mencambuk supaya tak jengah berkarya. Saban waktu, jamaah halaqah sastra kampus diajak membincang-soalkan ihwal teater dan sastra. Saat itu, kami menemukan obor yang menerangi gelapnya ritual “babad sastra” di tanah warisan kolonisasi ini.


Kala itu, di Dewan Kesenian Metro (DKM), dan di sekretariat Ikatan Mahasiswa Pecinta Seni (IMPAS) kami intens diskusi tentang sastra dan teater. Geliat menemukenali sastra—khuson ihwal puisi semakin kentara ketika kami dipertemukan dengan Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin dan sastrawan lainnya. Di pagelaran workshop sastra DKM—Bang Ari, Kak Is dan bang AYE dengan sangat frontal membongkar paradigma “culun” kami dalam menulis puisi.
Setakat kemudian—di tengah kebingungan dan kekosongan—satu persatu kami dibimbing dan diarahkan menulis puisi yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Apa yang dilakukan Ari Pahala sangat mendasar sekali; mulai dari memilih dan menentukan kata, membuat kalimat yang menjadi satu kesatuan dan utuh. Sekalipun dasar, namun sangat berat kami rasakan saat itu. Setiap sesi kami diberikan tugas-tugas; baik diskusi, memahami puisi-puisi maestro, maupun membuat empat baris kalimat yang utuh, padat dan berisi. Waktu itu, benar-benar seperti berada dalam atmosfer belajar tingkat tinggi—yang sama sekali belum pernah kami temui.
Akhirnya, di ruang podjok itu, sambil menyesap sebatang rokok, membaham sisa kudapan dan ampas kopi yang sebentar lagi basi—Utjok menggenapi romantisme perjalan panjang kepenyairannya dengan menyuguhkan “Sebait Syair Untuk Tuhan”. Sukses selalu dan semoga menginspirasi

Bagi yang berminat untuk mendapatkan Buku puisi “Sebait Syair Untuk Tuhan” silahkan hubungi admin Komunitas Ruang Pojok dibawah ini :
[…] Ruang Pojok Metro tahun 2021, Luncurkan Antologi Puisi Tunggal “Sebait Syair Untuk Tuhan” karya Solihin Utjok yang merupakan karya tunggalnya setelah melalui proses panjang […]